Tuesday, April 14, 2020

Siapakah “Tersangka Utama” Covid-19? Kelelawar, Trenggiling, atau Homo Sapiens?

(Sebuah Catatan Mengenai Manusia : Makhluk Paling Egois Tukang Nyari Kambing Hitam)
Dunia sedang tidak baik-baik saja. Pandemi Covid-19 mampu merubah tatanan dan kebiasaan hidup manusia hampir di setiap penjuru dunia. Meski mortalitasnya kecil, Covid-19 menjadi fatal bagi beberapa golongan, seperti manula dan pasien dengan penyakit bawaan (autoimun, jantung, dan sebagainya). Ditambah fenomena pasien positif Covid-19 tanpa gejala, mereka yang nampak sehat namun tetap mampu menularkan virus tersebut pada orang lain (Carrier).



Jika semakin banyak orang tertular-dan tak terdeteksi, akan semakin banyak pasien yang memerlukan pertolongan medis. Skenario terburuk yang dapat terjadi adalah ketika fasilitas kesehatan kewalahan dan tidak mampu menampung para pasien. Angka mortalitas dapat melonjak tajam.

Untuk mencegah penyebaran, kini semua orang berupaya untuk melakukan physical distancing. Pemerintah pusat dan daerah pun ikut bergerak dengan kebijakan-kebijakannya demi memutus mata rantai virus ini. Ya, kita semua sedang sibuk melindungi diri untuk tidak terpapar Covid-19. Disaat para peneliti sibuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai virus ini, kita sibuk dengan kampanye #physicaldistancing, #workfromhome, #learningfromhome dan sebagainya.

Sayangnya, perhatian akan “akar” dari merebaknya virus baru ini masih terbilang kecil. Itu pun kebanyakan berasal dari penggiat konservasi yang memang sudah lama menggaungkan akibat bahayanya mengganggu satwa liar dan alam.

Sebagai catatan, penelitian memang penting dilakukan. Agar kita tahu bagaimana asal mula virus ini muncul sehingga tindakan preventif dalam dilakukan di masa yang akan datang. Melalui penelitian itulah kita tahu, bahwa virus covid-19 adalah dampak infeksi zoonosis.

Lalu, apa itu zoonosis?

Zoonosis adalah penularan penyakit dari hewan terhadap manusia, pun sebaliknya. Mengapa begitu banyak konservasionis yang mengkampanyekan larangan berinteraksi dengan satwa liar (termasuk memburu, jual-beli dan memelihara apalagi memakannya)? Well, untuk menjawab pertanyaan tersebut secara lengkap dan detail akan dibutuhkan lebih banyak space bagi kita untuk menjabarkannya. Tapi salah satu alasan paling krusial ya, zoonosis ini.

Contoh paling dekat, corona virus. Virus ini memang umum ditemukan pada kelelawar. Tapi satwa liar umumnya memiliki resistensi tinggi terhadap virus. Sehingga bagi hewan seperti kelelawar mungkin tidak memberikan pengaruh signifikan. Beda  halnya jika virus sudah ditransmisikan kepada manusia. Karena jelas metabolisme dan resistensi tubuh kita jauh berbeda dengan satwa liar di alam. Sudah mulai terbayang kan dari sini?

Lucunya, ada saja manusia-manusia sableng yang berpikiran tumpul yang kemudian bereaksi secara sporadic dan membabi buta. Berawal dari ketakutan yang dialasi ketidaktahuan. Ketika mendapat informasi covid-19 memiliki asosiasi dengan kelelawar, ramai-ramai dibakarlah sejumlah kelelawar di pasar hewan. Kelelawar yang tidak punya dosa apa-apa dan tidak tahu menahu mengenai bahaya covid-19 terhadap manusia. Apa bukan dzolim itu namanya?


Atau ada pula celetukan yang begitu lucu dan membuat saya ingin menangis sekaligus tertawa. “Kalo Covid-19 ini asalnya dari kelelawar, aku dan masyarakat pulau S******i mungkin sudah lama mati dari dulu. Tapi buktinya kami sehat-sehat saja.”. Kalo mau begitu cara berpikirmu, coba saja sekarang lihat apakah semua manusia yang terkena Covid-19 mati serentak tiba-tiba?

Lalu saat hasil penelitian lainnya muncul, bahwa Covid-19 memiliki asosiasi yang lebih kuat dengan trenggiling, muncul lagi sebuah berita, dengan judul yang terlihat bombastis namun bodoh luar biasa. “Trenggiling, tersangka utama covid-19”. Jujur saya malu jadi manusia kalau begini caranya. Karena mau dipaksa seperti apa pun, pemikiran itu ga masuk di otak saya.


Sejak jaman dahulu kala, saat nenek moyang kita masih melawan penjajahan Kolonial Belanda, adakah cerita satwa liar mengganggu manusia kalo tidak manusia yang mengganggu mereka terlebih dahulu? Akankah trenggiling datang secara tiba-tiba ke area perumahan manusia kemudian dengan sengaja, menculik bayi manusia untuk dimakan karena konon bayi manusia dapat meningkatkan stamina trenggiling berjenis kelamin pria? Silahkan jawab dalam hati masing-masing yak!

Ingin saya teriaki itu yang nulis berita. Gemas luar biasa.

Dari dulu, kitalah yang ganggu mereka. Kita yang pisahkan mereka dari keluarganya. Kita yang membantai kaum mereka. Lalu ketika sekarang kita terkena dampak perbuatan kita sendiri, tiba-tiba mereka yang jadi tersangka? Wow.

Singkatnya, satwa liar itu tempatnya di hutan, alias habitat asli mereka. Bukan di rumah manusia apalagi di meja makan.

Jadi siapa tersangkanya? MA.NU.SI.A. Para pemburu satwa liar, para pelaku jual-beli satwa liar, dan mereka yang menghidangkan juga menikmati hidangan satwa liar. Merekalah tersangka utama.

Terlebih jika ingin merunut, kasus zoonosis seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Meski penyebarannya tidak sedahsyat Covid-19 yang kini menggemparkan dunia. Masalahnya, kita sebagai manusia memang tidak pernah jera.


Jika setelah pandemi ini berakhir manusia-manusia itu masih saja mengganggu satwa liar, mungkin ada baiknya kita pesan setiap rumah makan padang sedia gulai otak berskala besar. Mungkin nanti harus kita galakkan juga kampanye #manusiadaruratotak.

No comments:

Post a Comment