Wednesday, March 9, 2022

Membangun Dapur : Jantung Rumah Kami

Sebelum menikah, saya dan suami sempat berbicara mengenai arti rumah. Kami sepakat, rumah bukan sekedar bangunan dimana kami bisa tinggal. Melainkan sebuah tempat dimana kami dapat menemukan arti "pulang" yang sesungguhnya. 

Hal itulah yang mendasari keputusan kami untuk melaksanakan pernikahan di KUA pada bulan Juni 2020. Dengan harapan agar segera setelah menikah, kami dapat segera memiliki rumah. Selain karena waktu itu memang resepsi tidak diperbolehkan, karena adanya aturan pembatasan kerumunan terkait pandemi covid-19. Kini, 20 bulan setelah akad, kami bersyukur atas keputusan bijak yang kami buat. 

Setelah mengontrak selama satu tahun, akhirnya kami berhasil mendapatkan satu petak lahan berikut rumah di sebuah perumahan subsidi di Ciapus, Bogor. Pengajuan KPR kami lakukan di bulan November 2020 dan akhirnya di ACC pada bulan Maret 2021. Saat usia kandungan saya baru 1 bulan. Sayangnya, rumah dari developer belum ada dapur, sehingga kami harus membangun dapur dari awal. 

Hikmah dari ketiadaan dapur ini, kami jadi bebas membangun dapur sesuai keinginan. Anggap saja ini salah satu bentuk investasi. Apalagi bisa dibilang, dapur adalah jantung sebuah rumah. Dimana sumber nutrisi untuk seluruh keluarga berasal dari sana. Sehingga penting rasanya untuk bisa menciptakan suasana yang menyenangkan ketika berada di dapur. Bagi saya, dapur yang rapi dan enak dipandang menjadi mood booster tersendiri, bikin saya ingin selalu kembali dan masak sesuatu di sana. Hehe.

Cukup lama kami berdiskusi mengenai dapur seperti apa yang ingin dibangun. Setiap hari saya scrolling di instagram mencari inspirasi. Mencari tema yang sesuai agar dapur kami terasa luas, karena ukurannya yang hanya 2 x 3 meter saja. Hingga pilihan jatuh pada tema kombinasi kayu dan warna putih. Wah, cakep banget deh itu. Tidak pikir panjang, langsung saya screenshot contoh dapur yang saya mau dan saya kirimkan pada suami. Alhamdulillah, suami setuju. Yeaayy..

Pembangunan dapur kami berlangsung selama kurang lebih 1 bulan, melalui tukang borongan. 


70%

Untuk dinding dapur, kami gunakan bevel putih ukuran 20x10 cm. Sempat diprotes tukang karena pengerjaannya yang lama dan membosankan. Tapi kami tutup telinga saja, sambil bawa lapis talas sangkuriang untuk menghibur si mamang yang kesal. 


90%

Untuk meja dapur, kami gunakan keramik motif kayu ukuran 60x60 cm. Ini lebar banget sih. Niatnya, supaya jika suatu saat ingin ulen menguleni, bisa leluasa di meja dapur.


99% 
(Karena masih banyak rencana mempercantik si dapur)

Warna putih ini memang game changer sekali sih. Dapur kami yang imut imut jadi terasa luas. Soal aksesoris dapur, kami sepakat untuk cicil pelan-pelan saja. Jadi, tolong maklumi mangkok merah muda, rak piring warna biru dan tempat spons kami yang seadanya. Hehehe. Doakan bisa kami percantik lagi ya dengan kabinet dapur dan printilan yang seragam. Sejauh ini, suami yang punya peran besar dalam urusan memilih aksesoris macam rak bumbu dan rak serbaguna di pojokan. Saya sih cukup diam saja, karena pasti suami pilih yang matching dengan tema. Saya percaya, seleranya suami itu bagus sekali. (Buktinya dia menikahi saya. Hahahaha)

Alhamdulillaahh, dapur idaman kami selesai juga pembangunannya. 

Kalau kamu, bagaimana? Dapur seperti apa yang jadi idamanmu?


Sunday, March 6, 2022

Per (empu) an

"Mamah Ingggaaaa.. Hujaann.. Itu baju si dede kasian nanti basah..", teriak seorang ibu, tetangga yang rumahnya cukup dekat dengan kami di perumahan. 

Beberapa hari ini cuaca memang sedang tidak menentu. Kadang cerah di pagi hari tak menjadi jaminan jemuran akan kering di siang hari. Karena selang beberapa jam, langit bisa saja menjadi mendung dan hujan pun turun rintik-rintik. Saya pun bergegas memasukkan jemuran yang kebanyakan memang merupakan baju Ingga, bayi kami yang baru berusia 4 bulan.

Beberapa saat kemudian, saya tertegun. Dulu, orang orang memanggil saya Dian/Nilam. Awal pindah ke perumahan pun saya kerap dipanggil Bu Nilam/Teh Nilam. Hingga suatu hari entah sejak kapan, tetangga mulai memanggil dengan sebutan Bu Agung (nama suami). Kini, nama saya kembali berganti menjadi Mamah Ingga. 

Lama saya terdiam. Meresapi apa yang baru saja saya sadari. Panggilan saya telah berganti dua kali, hanya dalam kurun waktu 1 tahun saja. Saya tidak keberatan, hanya sedikit kaget dengan perubahan yang terjadi. 

Tidak dapat dipungkiri, masyarakat kita memang mayoritas menganut patriarki. Dimana lelakilah yang dapat meneruskan darah atau nama keluarga. Seorang laki-laki akan meneruskan namanya kepada istri dan anak-anaknya. Sedangkan perempuan, ya seperti saya. 

Apakah ini yang dinamakan kehilangan identitas? 

Bisa ya, bisa tidak. 

Bagi saya, itu hanyalah bagaimana tetangga berusaha mengenali saya dengan mudah. Bisa jadi, beberapa dari mereka malah tidak tahu nama asli saya. Dan itu tidak masalah, karena identitas saya bukan mengenai bagaimana saya dipanggil oleh beberapa orang. 

Lingkup kehidupan sosialisasi saya pun tidak hanya berkutat di perumahan kami saja. Ada keluarga, teman sekolah, teman kerja dan sebagainya. Mereka semua tetap memanggil saya Dian/Nilam. Meskipun saya telah menikah, lalu memiliki anak. 

Saya masih punya ruang untuk dapat berekspresi dan melakukan aktualisasi diri, salah satunya dengan menulis, membaca buku atau sesederhana melakukan kegiatan yang saya suka. Berenang, contohnya. Sehingga Dian Nilam tidak pernah hilang. Ia ada dan tetap memiliki kuasa atas dirinya. 

Justru ketakutan terbesar saya, adalah jika saya tidak mampu melakukan aktualisasi diri dengan adanya kesibukan baru setelah menjadi seorang ibu. Ketika saya tidak dapat bebas berekspresi, beropini atau bahkan tidak dapat melakukan hal yang saya sukai. Saat itulah identitas saya akan terasa hilang. Dimana hidup akan terasa kosong dan tak bermakna. 

Beruntung, saya diberi suami yang pengertian dan memiliki pola pikir yang terbuka. Suami yang mau diajak berdiskusi tentang dunia agar istrinya tidak merasa tertinggal. Suami yang mendukung penuh upaya istrinya untuk tetap berkarya. 

Lain halnya, jika perempuan mendapati pasangan hidup yang merasa harus memiliki dominansi mutlak dalam rumah tangga. Saat perempuan bahkan takut untuk mengemukakan pendapatnya. Saat itulah perempuan rawan kehilangan identitas atau jati dirinya. 

Tapi, itu hanyalah pendapat saya semata. Layaknya lelaki dan perempuan yang berbeda, tiap individu perempuan satu dan lainnya juga tentu tidak akan sama. Mungkin ada yang setuju ada yang tidak. Doa saya agar setiap perempuan dapat hidup dengan aman, nyaman dan bahagia. Agar dapat menghasilkan generasi penerus yang cerdas dan berkualitas.

Semangat ya.. Kita saling menguatkan.. I love you, women..