Tuesday, April 21, 2020

Penyesalan Terbesar: Memelihara Satwa Liar


Berawal dari melihat postingan seorang artis yang juga anggota dewan sedang memperlihatkan monyet peliharaannya dengan baju layaknya bayi. It breaks my heart. Dan tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membuat sensasi layaknya artis atau youtuber yang ingin dapat view banyak. Saya hanya ingin curhat.

Pertemuan dengan Kioko, Sugar Glider Pertama yang Saya Pelihara

Pada tahun 2012 saya melihat status almarhum teman SMA saya (beliau meninggal beberapa tahun lalu). Dua ekor makhluk mungil yang begitu lucu dan belum pernah saya lihat sebelumnya. Spontan saya bertanya, “Jan, itu apa?”. Dengan sabar ia menjawab setiap pertanyaan saya.

Dua makhluk mungil nan lucu itu adalah sugar glider dengan nama latin Petaurus Brevicep. Hewan penyuka makanan manis ini dapat ditemukan di Papua dan Australia. Selain itu mereka juga mampu berakrobat, melompat dari pohon ke pohon bahkan seperti melayang di angkasa saat merentangkan tangan dan kakinya.

Tak pikir panjang, saya langsung mencari info bagaimana mendapatkan hewan itu. Saya membeli seekor bayi sugar glider betina captive breed (yang artinya hasil ternakan bukan yang langsung ditangkap dari alam). Ia kemudian saya beri nama Kioko. Selang beberapa bulan saya membeli sugar glider kedua saya, seekor jantan yang saya panggil Ano.

Saat itu rasanya menyenangkan. Kio sudah mulai bonding dengan saya, efek saya bawa kemana-mana. Dia begitu jinak, tidak pernah crabbing dan senang berjalan-jalan di badan saya. Saya juga aktif bergabung di komunitas para pemelihara sugar glider. Satu tahun kemudian kio melahirkan anak pertamanya. Dalam setahun kadang ia beranak hingga 2 kali. Kadang hanya 1 ekor, kadang 2 ekor. Karena tidak dapat pelihara terlalu banyak, akhirnya saya jual anak-anak kio.

Terus terang, saat itu saya tidak tahu bahwa satwa liar bukan untuk dipelihara. Saya hanya tahu, bahwa sugar glider adalah binatang peliharaan eksotis dan hasil penjualan anak-anak kio dapat menjadi tambahan pemasukan untuk saya. Bertahun-tahun saya menjadi breeder, tanpa tahu bahwa yang saya lakukan adalah salah.

Di tahun 2015, selain bekerja part time sebagai penyiar di sebuah radio anak muda di Bogor, saya memutuskan untuk bekerja full time. Bergabunglah saya di Yayasan Owa Jawa. Sebuah yayasan yang bergerak dalam upaya penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, primate asli pulau Jawa yang statusnya sudah terancam punah dan sudah mendapat perlindungan UU.

Sejak itulah pikiran saya mulai terbuka.

Mengapa Tidak Boleh Pelihara Satwa Liar?

Kita mesti paham perbedaan besar antara satwa liar dan binatang peliharaan. Keduanya berbeda. Hewan yang dapat atau biasa dipelihara antara lain kucing, anjing atau pun hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing dan lain-lain. Mereka adalah hewan-hewan yang memang sudah ada disamping manusia sejak lama. Domestifikasi istilahnya. Mereka dapat hidup berdampingan dengan manusia. Segala sesuatu tentang mereka sudah jelas dan informasi bertebaran dimana-mana.

Lain halnya dengan satwa liar, yaitu binatang-binatang yang hidup liar di alam. Di hutan-hutan. Tidak ada tara cara bagaimana memelihara mereka, karena memang bukan untuk dipelihara.

Mengapa kita tidak boleh memelihara satwa liar? Dua alasan utama yang perlu kita telaah.

1.       Keberadaan satwa liar di alam bukan tanpa alasan. Mereka adalah bagian dari ekosistem yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi alam itu sendiri. Contohnya owa jawa, berperan penting dalam proses regenerasi hutan. Owa jawa ikut menjadi “petani hutan” melalui biji-biji yang mereka makan. Owa jawa yang selalu berpindah tempat akan menebar benih-benih tersebut di area teritorialnya. Dan jangan Tanya seberapa penting hutan bagi kita, manusia. Hutanlah yang menjadi produsen terbesar oksigen dan air bersih untuk kelangsungan hidup manusia itu sendiri. It’s no joke, nature don’t need us, but we need nature to survive.

2.       Bahaya ZOONOSIS. Sebuah istilah yang baru saya kenal di tahun 2015. Yaitu penularan penyakit dari hewan ke manusia, pun sebaliknya. Zoonosis ini nyata, buktinya adalah apa yang sedang kita alami saat ini. Corona virus yang diasosiakan dengan hewan memang virus yang telah ada sejak lama. Namun ia mampu beradaptasi dengan inang baru dan akhirnya menjadi virus baru. (sebuah informasi yang saya dapat saat mengikuti webinar mengenai covid-19 dan satwa liar).

Penyesalan Terbesar

Setelah tahu hal-hal tersebut diatas, apakah saya menyesal telah membeli Kio di tahun 2012?

Mungkin lebih dari sekedar penyesalan. Saya telah melakukan dosa besar. Meski awalnya berlabel cinta terhadap binatang, tapi apa yang saya lakukan saat itu adalah memenuhi keinginan saya semata. Tanpa memikirkan akibat dari perbuatan saya terhadap kio maupun terhadap satwa liar lainnya.

Berapa banyak orang yang tertarik untuk memelihara sugar glider setelah melihat foto atau video Kio di social media? Berapa banyak keturunan kio yang sudah saya jual? Rasanya jijik mengingat apa yang sudah saya lakukan di masa lalu. Saya telah ikut serta “mempromosikan” pemeliharaan satwa liar.

FYI, Kio dan Ano masih hidup hingga saat ini. Usianya sudah 7.5 tahun. Dan ini adalah masalah baru untuk saya.

Ada keinginan untuk melepasliarkan Kio begitu saja di alam. Tapi ia sudah bersama saya sejak bayi. Untuk makan buah saja harus dipotong-potong kecil lebih dulu, baru Kio mau makan. Dan bertahun-tahun kio di kandang, saya tidak yakin dia masih bisa gliding. Karena ketika saya ajak main keluar pun, ia hanya mampu melompat-lompat kecil. Padahal di alam, sugar glider dikatakan mampu melompat jauh hingga puluhan meter. Rasanya hancur hati ini mengingat betapa jahatnya saya, telah mengambil kenikmatan itu dari Kio. Kebebasan yang seharusnya ia dapatkan di habitat aslinya.

Jadi, apakah tepat jika saya lepasliarkan Kio begitu saja di alam? Bayangan kio tidak dapat bertahan apalagi bersembunyi dari predator pun menghantui saya tiada henti. Hingga akhirnya orang terdekat saya memberikan sebuah masukan.

"Mungkin saat ini yang bisa dilakukan adalah menjaga Kio hingga batas usianya berakhir."

Nasi memang sudah menjadi bubur. Apa yang sudah saya lakukan tidak dapat diulang.

Keputusan itu pun saya ambil dengan berat hati. Dengan pertimbangan bahwa melepasliarkan Kio begitu saja tanpa memikirkan bagaimana ia dapat bertahan di alam bukanlah hal bijak. Pun dengan membiarkan orang lain mengadopsi Kio. Setidaknya saya telah berikrar untuk tidak lagi menjual keturunan kio atau pun memposting foto dan video Kio. 

Belajarlah dari Kesalahan Saya

So please, I beg you. Untuk kalian yang berniat untuk pelihara satwa liar. Think about it over and over. If you’re lonely, get a cat or a dog, not wildlife. If you want to look cool, do something good instead of keeping wildlife as a pet. If you love wild exotic animal that much, donate your money to wildlife rehabilitation centers or reforestation programs.

Pikirkan kesejahteraan hewan-hewan itu. Sejahtera bagi mereka bukan makan buah-buahan fancy yang kamu beli dari supermarket atau pakai baju yang kamu beli khusus untuk mereka. They’re wildlife, not your baby. Those are things human usually do to their babies, right? You want babies, make one! Don’t take another creature’s baby. Because that’s just plain cruelty.

I made a mistake in the past, and not a single day pass that I don’t regret it. I wish you can at least learn from it. 

Tuesday, April 14, 2020

Siapakah “Tersangka Utama” Covid-19? Kelelawar, Trenggiling, atau Homo Sapiens?

(Sebuah Catatan Mengenai Manusia : Makhluk Paling Egois Tukang Nyari Kambing Hitam)
Dunia sedang tidak baik-baik saja. Pandemi Covid-19 mampu merubah tatanan dan kebiasaan hidup manusia hampir di setiap penjuru dunia. Meski mortalitasnya kecil, Covid-19 menjadi fatal bagi beberapa golongan, seperti manula dan pasien dengan penyakit bawaan (autoimun, jantung, dan sebagainya). Ditambah fenomena pasien positif Covid-19 tanpa gejala, mereka yang nampak sehat namun tetap mampu menularkan virus tersebut pada orang lain (Carrier).



Jika semakin banyak orang tertular-dan tak terdeteksi, akan semakin banyak pasien yang memerlukan pertolongan medis. Skenario terburuk yang dapat terjadi adalah ketika fasilitas kesehatan kewalahan dan tidak mampu menampung para pasien. Angka mortalitas dapat melonjak tajam.

Untuk mencegah penyebaran, kini semua orang berupaya untuk melakukan physical distancing. Pemerintah pusat dan daerah pun ikut bergerak dengan kebijakan-kebijakannya demi memutus mata rantai virus ini. Ya, kita semua sedang sibuk melindungi diri untuk tidak terpapar Covid-19. Disaat para peneliti sibuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai virus ini, kita sibuk dengan kampanye #physicaldistancing, #workfromhome, #learningfromhome dan sebagainya.

Sayangnya, perhatian akan “akar” dari merebaknya virus baru ini masih terbilang kecil. Itu pun kebanyakan berasal dari penggiat konservasi yang memang sudah lama menggaungkan akibat bahayanya mengganggu satwa liar dan alam.

Sebagai catatan, penelitian memang penting dilakukan. Agar kita tahu bagaimana asal mula virus ini muncul sehingga tindakan preventif dalam dilakukan di masa yang akan datang. Melalui penelitian itulah kita tahu, bahwa virus covid-19 adalah dampak infeksi zoonosis.

Lalu, apa itu zoonosis?

Zoonosis adalah penularan penyakit dari hewan terhadap manusia, pun sebaliknya. Mengapa begitu banyak konservasionis yang mengkampanyekan larangan berinteraksi dengan satwa liar (termasuk memburu, jual-beli dan memelihara apalagi memakannya)? Well, untuk menjawab pertanyaan tersebut secara lengkap dan detail akan dibutuhkan lebih banyak space bagi kita untuk menjabarkannya. Tapi salah satu alasan paling krusial ya, zoonosis ini.

Contoh paling dekat, corona virus. Virus ini memang umum ditemukan pada kelelawar. Tapi satwa liar umumnya memiliki resistensi tinggi terhadap virus. Sehingga bagi hewan seperti kelelawar mungkin tidak memberikan pengaruh signifikan. Beda  halnya jika virus sudah ditransmisikan kepada manusia. Karena jelas metabolisme dan resistensi tubuh kita jauh berbeda dengan satwa liar di alam. Sudah mulai terbayang kan dari sini?

Lucunya, ada saja manusia-manusia sableng yang berpikiran tumpul yang kemudian bereaksi secara sporadic dan membabi buta. Berawal dari ketakutan yang dialasi ketidaktahuan. Ketika mendapat informasi covid-19 memiliki asosiasi dengan kelelawar, ramai-ramai dibakarlah sejumlah kelelawar di pasar hewan. Kelelawar yang tidak punya dosa apa-apa dan tidak tahu menahu mengenai bahaya covid-19 terhadap manusia. Apa bukan dzolim itu namanya?


Atau ada pula celetukan yang begitu lucu dan membuat saya ingin menangis sekaligus tertawa. “Kalo Covid-19 ini asalnya dari kelelawar, aku dan masyarakat pulau S******i mungkin sudah lama mati dari dulu. Tapi buktinya kami sehat-sehat saja.”. Kalo mau begitu cara berpikirmu, coba saja sekarang lihat apakah semua manusia yang terkena Covid-19 mati serentak tiba-tiba?

Lalu saat hasil penelitian lainnya muncul, bahwa Covid-19 memiliki asosiasi yang lebih kuat dengan trenggiling, muncul lagi sebuah berita, dengan judul yang terlihat bombastis namun bodoh luar biasa. “Trenggiling, tersangka utama covid-19”. Jujur saya malu jadi manusia kalau begini caranya. Karena mau dipaksa seperti apa pun, pemikiran itu ga masuk di otak saya.


Sejak jaman dahulu kala, saat nenek moyang kita masih melawan penjajahan Kolonial Belanda, adakah cerita satwa liar mengganggu manusia kalo tidak manusia yang mengganggu mereka terlebih dahulu? Akankah trenggiling datang secara tiba-tiba ke area perumahan manusia kemudian dengan sengaja, menculik bayi manusia untuk dimakan karena konon bayi manusia dapat meningkatkan stamina trenggiling berjenis kelamin pria? Silahkan jawab dalam hati masing-masing yak!

Ingin saya teriaki itu yang nulis berita. Gemas luar biasa.

Dari dulu, kitalah yang ganggu mereka. Kita yang pisahkan mereka dari keluarganya. Kita yang membantai kaum mereka. Lalu ketika sekarang kita terkena dampak perbuatan kita sendiri, tiba-tiba mereka yang jadi tersangka? Wow.

Singkatnya, satwa liar itu tempatnya di hutan, alias habitat asli mereka. Bukan di rumah manusia apalagi di meja makan.

Jadi siapa tersangkanya? MA.NU.SI.A. Para pemburu satwa liar, para pelaku jual-beli satwa liar, dan mereka yang menghidangkan juga menikmati hidangan satwa liar. Merekalah tersangka utama.

Terlebih jika ingin merunut, kasus zoonosis seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Meski penyebarannya tidak sedahsyat Covid-19 yang kini menggemparkan dunia. Masalahnya, kita sebagai manusia memang tidak pernah jera.


Jika setelah pandemi ini berakhir manusia-manusia itu masih saja mengganggu satwa liar, mungkin ada baiknya kita pesan setiap rumah makan padang sedia gulai otak berskala besar. Mungkin nanti harus kita galakkan juga kampanye #manusiadaruratotak.

Friday, April 10, 2020

A dream of Life

One of my fellow announcer just gave birth to a beautiful baby boy. She’s a few years younger than me and it’s her second child already. Like any normal sane human being, I congratulate her, send her love and prayers for the whole family. And she’s blessed with such beautiful family, of course I’m happy for her.

Anyway after that I can’t help but feeling a little sadness creeps into that small place I couldn’t point inside me. A pang of jealousy? Envy? Probably. I can’t help wanting the same thing. A loving and caring husband and beautiful babies that could fill my heart with warm unconditional love. Why do I sound really thirsty? Hahaha

I used to dream of that. Maybe I am still. But when you tasted the bitterness of failure that shook you to the core, dream seems kind of overrated. What if I am just not capable of becoming that person that I dream of? Of building something with a decent guy? Of motherhood? What if I crumble again when I dare to start dreaming another dream?

Not to mention the fact that I came from a divorced parents. I used to think that, well, what will guarantee that I won’t end up with the same fate once I married someone? What if again, I fail? But those questions screamed desperation and I hate being desperate. So I decided to deliberately put another perspective into the matter. So instead of failure, let’s talk about success first.

What is success? I never really put a thought about it until now. I don’t even have proper description for that. But I do believe something. You see every second any human has in their life passed with a purpose. Nothing is in vain. I believe God created human for something, nothing is useless. And when that purpose full filed, can we call it a success?

I used to think, success is when you get what you want and dream of. The school you want to enroll to, the perfect house, the perfect partner, the perfect family, the perfect job, and so on and so on. But life itself is never perfect. Perfectness sounds boring anyway. Even in movies, it is imperfectness that brings the color, the drama, the feel and sensation to the story, right? It’s what makes us human. We’re not angels nor evils.

So maybe I should stop thinking that I’ve been failed. Yes, I went to a terrible time and didn’t get what I dream of, but didn’t I somehow get through the affliction alive? I mean, here I am. Alive and breathing. I didn’t end my life because of the heartbreak. I am successful, in term of survival.

Is it safe to think that maybe – at least for now- this is where God wants me to be? For the journey isn’t through yet. Right?

I read somewhere that, if you’re still alive, it’s not the end. Not yet. And since I am a muslim, even death is not the end. It is just another phase that we must go through in order for us to reach the ultimate destination: the afterlife, where everything is immortal.

The heartbreak lasted for like-what- one or two years? More or less. Those were precious time where I got to find myself again though. I get to know me better. And I have to say that I’m quite pride of myself back then. At that moment I feel that I finally am able to enjoy life itself. No expectation, no retribution. Just me, trying to be happy with myself. That’s when I start to falling in love with myself. Finally!

Come to think of it, I remember. My friend whom we talked about earlier also came from a divorced family. But look at her now. She’s happily married with a good man and got 2 boys in 2 years of marriage. How amazing is that?

From that friend of mine, I learn. Never ever lose hope or give up on life. Life is a blessing. So as long as we’re alive, the blessing continues. Let’s go, baby, put your best smile and face the world bravely! I know you can. <3 p="">

Wednesday, April 8, 2020

A Pregnant Cat, A happy little kid and The Corona Virus Outbreak

Today is 8th April 2020, my 4th week of self-quarantine or working from home. It’s 4.08 pm, I already did my chores, took 2 meals, took the med for my skin condition (which is only vitamin actually. I’ll tell you later up about this so called skin condition. *hopefully), a glass of my daily lemon water for my main source of vitamin C and haven’t took any shower whatsoever.

It is kind of hard to admit that I’m bored. It just sounds very ungrateful and shallow. I mean by looking at the social media -mainly instagram- we could see many people out there are struggling real hard facing this pandemic situation. And here I am with my minor boredom problem, whining like a toddler not having its regular nap time. I know. *sigh

But still, I’m physically okay, but my mind? I don’t think so. I think I need to start feeling worry in order to try finding solution to get out of this depressing routine of nothingness, passionless that I’m having at the moment. It’s been days since I have the urge to turn on my laptop. To be honest, I’m starting to feel sick looking at my laptop. Even my phone. The news has its way of adding more pressure to my brain. Or maybe I’m just not that good being under pressure. Well, if it’s not the only thing that could connect me with some important people in my life (family, significant other, friends, etc.), I will probably leave my phone alone for the entire day. 

I just want to stay sane. It actually feels harder than the test we got during school time. 

Last week was still fun, I got to cook some of my favorite foods. But even cooking gets tiring at some point. Not to mention the fear of getting out there to the market taking risks of being exposed to the virus. Not being over dramatic, but fear is by far a very dangerous silent killer. Because it never came alone. Fear always comes with its best friends, like anxiety, depression and such. Those things could easily turn us into a reckless unreasonably paranoid. And then there goes our immune system.. 

Now I oddly find it interesting to not think overly. Over the virus, the situation that we’re in, the future that hasn’t come or anything that has the ability to drain my mental energy down. All I want to do now, is just watching my 5 years old little sister and my pregnant cat. It’s so mundane yet relaxing at the same time. They don’t worry about the outbreak out there, the fear of death, hunger, political movement or even what tomorrow will be. 

My little sister will woke up happy with her silly grin asking for donuts with cheese. She’ll happily taking a shower while reciting verses that she’s currently memorizing (We told her like a million times she’s not supposed to recite them while in the bathroom, but well, kids will always be kids). Sometimes she sulks over small little things. She’s very fond of noodle and doesn’t like meat. Not sure why for now, but maybe because noodle is easier to chew. She’ll probably become a vegan in the future. Who knows, right? 


My cat however will wait outside my door to get into my room. Every freaking morning. I don’t let her sleep at night inside because she’ll be annoyingly wanting to go outside in the middle of the night. She loves taking a nap in my room, by the way. Probably because she’s pregnant? My grandma said my room is cooler. Yup. She’s pregnant-don’t ask me how long, since I have no idea. I think it’s her fourth time being pregnant though. Even though she’s a very tiny cat, the little lady sure has her way with the boys around here. LOL. She’s like an IT girl or something I guess. Because we often find male cats fighting in front of the house, God knows for what, but we guess it’s probably because of our little princess here. 


Her name is Pao, if anyone curious. She’s a half breed. Her mom was an old sick angora cat left alone by our neighbor. My grandma as always, braced the poor thing, fed her until she became this beautiful healthy cat with clear yellow eyes and long black hair again. Then one of the male cat got her pregnant. Oh, that simple. Anyway, someone took Pao’s mom away when she was just a baby. We don’t know who, but she was just gone. Pao is the only memory left of her. 

Long story short, another pregnant cat came to our house, gave birth and took Pao in. She breastfed her along with her other babies. One of the baby turned into a very big male cat (his name is Buis) and has been chasing after Pao since forever. But she's always been interested with another cat outside the house. Grandma said Pao couldn’t do it because she considers Buis as brother. I failed to explain to grandma that I remember when I was younger our female cat (I forgot her name, it’s a long time ago) got pregnant by her own kid, so I just leave my grandma alone. And how on earth we know her own kid impregnated the cat? We pay attention to the gene gambling. I don’t know. We just know. Why the talk of my cats turned this frustrating?

Bottoms up, I like watching my happy little sister being happy. I also like watching Pao does her grooming lazily. The lady always takes her time. Nothing could rush her or scare her – except the sound of thunder. It seriously was the funniest thing to watch. The cat shook, literally. Despite all the things happened out there. The changing. It's very easy to just give in. But I just wish I would be able to enjoy another mundane day watching my sister and our pregnant cat doing their things. 

For all its worth, I am grateful. For their existence that keeps my sanity intact in these incredibly confusing time. And for whoever outside, I sincerely hope you can find yours too.

Now I seriously need to get back to work again..