(Sebuah Catatan Mengenai Manusia : Makhluk Paling Egois Tukang Nyari Kambing Hitam)
Dunia sedang tidak baik-baik saja. Pandemi Covid-19 mampu
merubah tatanan dan kebiasaan hidup manusia hampir di setiap penjuru dunia. Meski
mortalitasnya kecil, Covid-19 menjadi fatal bagi beberapa golongan, seperti manula
dan pasien dengan penyakit bawaan (autoimun, jantung, dan sebagainya). Ditambah
fenomena pasien positif Covid-19 tanpa gejala, mereka yang nampak sehat namun
tetap mampu menularkan virus tersebut pada orang lain (Carrier).
Jika semakin banyak orang tertular-dan tak terdeteksi, akan
semakin banyak pasien yang memerlukan pertolongan medis. Skenario terburuk yang
dapat terjadi adalah ketika fasilitas kesehatan kewalahan dan tidak mampu
menampung para pasien. Angka mortalitas dapat melonjak tajam.
Untuk mencegah penyebaran, kini semua orang berupaya untuk
melakukan physical distancing. Pemerintah pusat dan daerah pun ikut bergerak
dengan kebijakan-kebijakannya demi memutus mata rantai virus ini. Ya, kita
semua sedang sibuk melindungi diri untuk tidak terpapar Covid-19. Disaat para
peneliti sibuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai virus ini, kita sibuk
dengan kampanye #physicaldistancing, #workfromhome, #learningfromhome dan
sebagainya.
Sayangnya, perhatian akan “akar” dari merebaknya virus baru
ini masih terbilang kecil. Itu pun kebanyakan berasal dari penggiat konservasi
yang memang sudah lama menggaungkan akibat bahayanya mengganggu satwa liar dan
alam.
Sebagai catatan, penelitian memang penting dilakukan. Agar
kita tahu bagaimana asal mula virus ini muncul sehingga tindakan preventif
dalam dilakukan di masa yang akan datang. Melalui penelitian itulah kita tahu,
bahwa virus covid-19 adalah dampak infeksi zoonosis.
Lalu, apa itu zoonosis?
Zoonosis adalah penularan penyakit dari hewan terhadap
manusia, pun sebaliknya. Mengapa begitu banyak konservasionis yang
mengkampanyekan larangan berinteraksi dengan satwa liar (termasuk memburu,
jual-beli dan memelihara apalagi memakannya)? Well, untuk menjawab pertanyaan
tersebut secara lengkap dan detail akan dibutuhkan lebih banyak space bagi kita
untuk menjabarkannya. Tapi salah satu alasan paling krusial ya, zoonosis ini.
Contoh paling dekat, corona virus. Virus ini memang umum
ditemukan pada kelelawar. Tapi satwa liar umumnya memiliki resistensi tinggi
terhadap virus. Sehingga bagi hewan seperti kelelawar mungkin tidak memberikan
pengaruh signifikan. Beda halnya jika
virus sudah ditransmisikan kepada manusia. Karena jelas metabolisme dan
resistensi tubuh kita jauh berbeda dengan satwa liar di alam. Sudah mulai
terbayang kan dari sini?
Lucunya, ada saja manusia-manusia sableng yang berpikiran
tumpul yang kemudian bereaksi secara sporadic dan membabi buta. Berawal dari
ketakutan yang dialasi ketidaktahuan. Ketika mendapat informasi covid-19
memiliki asosiasi dengan kelelawar, ramai-ramai dibakarlah sejumlah kelelawar di pasar hewan. Kelelawar yang tidak punya dosa apa-apa dan tidak tahu menahu
mengenai bahaya covid-19 terhadap manusia. Apa bukan dzolim itu namanya?
Atau ada pula celetukan yang begitu lucu dan membuat saya
ingin menangis sekaligus tertawa. “Kalo Covid-19 ini asalnya dari kelelawar,
aku dan masyarakat pulau S******i mungkin sudah lama mati dari dulu. Tapi buktinya
kami sehat-sehat saja.”. Kalo mau begitu cara berpikirmu, coba saja sekarang
lihat apakah semua manusia yang terkena Covid-19 mati serentak tiba-tiba?
Lalu saat hasil penelitian lainnya muncul, bahwa Covid-19
memiliki asosiasi yang lebih kuat dengan trenggiling, muncul lagi sebuah
berita, dengan judul yang terlihat bombastis namun bodoh luar biasa. “Trenggiling,
tersangka utama covid-19”. Jujur saya malu jadi manusia kalau begini caranya.
Karena mau dipaksa seperti apa pun, pemikiran itu ga masuk di otak saya.
Sejak jaman dahulu kala, saat nenek moyang kita masih
melawan penjajahan Kolonial Belanda, adakah cerita satwa liar mengganggu
manusia kalo tidak manusia yang mengganggu mereka terlebih dahulu? Akankah
trenggiling datang secara tiba-tiba ke area perumahan manusia kemudian dengan
sengaja, menculik bayi manusia untuk dimakan karena konon bayi manusia dapat
meningkatkan stamina trenggiling berjenis kelamin pria? Silahkan jawab dalam
hati masing-masing yak!
Ingin saya teriaki itu yang nulis berita. Gemas luar biasa.
Dari dulu, kitalah yang ganggu mereka. Kita yang pisahkan
mereka dari keluarganya. Kita yang membantai kaum mereka. Lalu ketika sekarang
kita terkena dampak perbuatan kita sendiri, tiba-tiba mereka yang jadi
tersangka? Wow.
Singkatnya, satwa liar itu tempatnya di hutan, alias habitat
asli mereka. Bukan di rumah manusia apalagi di meja makan.
Jadi siapa tersangkanya? MA.NU.SI.A. Para pemburu satwa
liar, para pelaku jual-beli satwa liar, dan mereka yang menghidangkan juga
menikmati hidangan satwa liar. Merekalah tersangka utama.
Terlebih jika ingin merunut, kasus zoonosis seperti ini
bukanlah yang pertama kali terjadi. Meski penyebarannya tidak sedahsyat
Covid-19 yang kini menggemparkan dunia. Masalahnya, kita sebagai manusia memang
tidak pernah jera.
Jika setelah pandemi ini berakhir manusia-manusia itu masih
saja mengganggu satwa liar, mungkin ada baiknya kita pesan setiap rumah makan
padang sedia gulai otak berskala besar. Mungkin nanti harus kita galakkan juga kampanye
#manusiadaruratotak.
No comments:
Post a Comment