Berawal dari melihat postingan seorang artis yang juga
anggota dewan sedang memperlihatkan monyet peliharaannya dengan baju layaknya
bayi. It breaks my heart. Dan tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membuat
sensasi layaknya artis atau youtuber yang ingin dapat view banyak. Saya hanya
ingin curhat.
Pertemuan dengan
Kioko, Sugar Glider Pertama yang Saya Pelihara
Pada tahun 2012 saya melihat status almarhum teman SMA saya (beliau
meninggal beberapa tahun lalu). Dua ekor makhluk mungil yang begitu lucu dan
belum pernah saya lihat sebelumnya. Spontan saya bertanya, “Jan, itu apa?”. Dengan
sabar ia menjawab setiap pertanyaan saya.
Dua makhluk mungil nan lucu itu adalah sugar glider dengan
nama latin Petaurus Brevicep. Hewan penyuka makanan manis ini dapat ditemukan
di Papua dan Australia. Selain itu mereka juga mampu berakrobat, melompat dari
pohon ke pohon bahkan seperti melayang di angkasa saat merentangkan tangan dan
kakinya.
Tak pikir panjang, saya langsung mencari info bagaimana
mendapatkan hewan itu. Saya membeli seekor bayi sugar glider betina captive
breed (yang artinya hasil ternakan bukan yang langsung ditangkap dari alam). Ia
kemudian saya beri nama Kioko. Selang beberapa bulan saya membeli sugar glider
kedua saya, seekor jantan yang saya panggil Ano.
Saat itu rasanya menyenangkan. Kio sudah mulai bonding
dengan saya, efek saya bawa kemana-mana. Dia begitu jinak, tidak pernah
crabbing dan senang berjalan-jalan di badan saya. Saya juga aktif bergabung di
komunitas para pemelihara sugar glider. Satu tahun kemudian kio melahirkan anak
pertamanya. Dalam setahun kadang ia beranak hingga 2 kali. Kadang hanya 1 ekor,
kadang 2 ekor. Karena tidak dapat pelihara terlalu banyak, akhirnya saya jual
anak-anak kio.
Terus terang, saat itu saya tidak tahu bahwa satwa liar
bukan untuk dipelihara. Saya hanya tahu, bahwa sugar glider adalah binatang
peliharaan eksotis dan hasil penjualan anak-anak kio dapat menjadi tambahan
pemasukan untuk saya. Bertahun-tahun saya menjadi breeder, tanpa tahu bahwa
yang saya lakukan adalah salah.
Di tahun 2015, selain bekerja part time sebagai penyiar di
sebuah radio anak muda di Bogor, saya memutuskan untuk bekerja full
time. Bergabunglah saya di Yayasan Owa Jawa. Sebuah yayasan yang bergerak dalam
upaya penyelamatan dan rehabilitasi owa jawa, primate asli pulau Jawa yang
statusnya sudah terancam punah dan sudah mendapat perlindungan UU.
Sejak itulah pikiran saya mulai terbuka.
Mengapa Tidak Boleh
Pelihara Satwa Liar?
Kita mesti paham perbedaan besar antara satwa liar dan
binatang peliharaan. Keduanya berbeda. Hewan yang dapat atau biasa dipelihara
antara lain kucing, anjing atau pun hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing
dan lain-lain. Mereka adalah hewan-hewan yang memang sudah ada disamping
manusia sejak lama. Domestifikasi istilahnya. Mereka dapat hidup berdampingan
dengan manusia. Segala sesuatu tentang mereka sudah jelas dan informasi
bertebaran dimana-mana.
Lain halnya dengan satwa liar, yaitu binatang-binatang yang
hidup liar di alam. Di hutan-hutan. Tidak ada tara cara bagaimana memelihara
mereka, karena memang bukan untuk dipelihara.
Mengapa kita tidak boleh memelihara satwa liar? Dua alasan
utama yang perlu kita telaah.
1.
Keberadaan satwa liar di alam bukan tanpa
alasan. Mereka adalah bagian dari ekosistem yang memiliki pengaruh besar
terhadap kondisi alam itu sendiri. Contohnya owa jawa, berperan penting dalam
proses regenerasi hutan. Owa jawa ikut menjadi “petani hutan” melalui biji-biji
yang mereka makan. Owa jawa yang selalu berpindah tempat akan menebar benih-benih
tersebut di area teritorialnya. Dan jangan Tanya seberapa penting hutan bagi
kita, manusia. Hutanlah yang menjadi produsen terbesar oksigen dan air bersih
untuk kelangsungan hidup manusia itu sendiri. It’s no joke, nature don’t need
us, but we need nature to survive.
2.
Bahaya ZOONOSIS. Sebuah istilah yang baru saya
kenal di tahun 2015. Yaitu penularan penyakit dari hewan ke manusia, pun
sebaliknya. Zoonosis ini nyata, buktinya adalah apa yang sedang kita alami saat
ini. Corona virus yang diasosiakan dengan hewan memang virus yang telah ada
sejak lama. Namun ia mampu beradaptasi dengan inang baru dan akhirnya menjadi
virus baru. (sebuah informasi yang saya dapat saat mengikuti webinar mengenai covid-19 dan satwa liar).
Penyesalan Terbesar
Setelah tahu hal-hal tersebut diatas, apakah saya menyesal
telah membeli Kio di tahun 2012?
Mungkin lebih dari sekedar penyesalan. Saya telah melakukan
dosa besar. Meski awalnya berlabel cinta terhadap binatang, tapi apa yang saya
lakukan saat itu adalah memenuhi keinginan saya semata. Tanpa memikirkan akibat
dari perbuatan saya terhadap kio maupun terhadap satwa liar lainnya.
Berapa banyak orang yang tertarik untuk memelihara sugar
glider setelah melihat foto atau video Kio di social media? Berapa banyak
keturunan kio yang sudah saya jual? Rasanya jijik mengingat apa yang sudah saya
lakukan di masa lalu. Saya telah ikut serta “mempromosikan” pemeliharaan satwa
liar.
FYI, Kio dan Ano masih hidup hingga saat ini. Usianya sudah
7.5 tahun. Dan ini adalah masalah baru untuk saya.
Ada keinginan untuk melepasliarkan Kio begitu saja di alam. Tapi
ia sudah bersama saya sejak bayi. Untuk makan buah saja harus
dipotong-potong kecil lebih dulu, baru Kio mau makan. Dan bertahun-tahun kio di
kandang, saya tidak yakin dia masih bisa gliding. Karena ketika saya ajak main
keluar pun, ia hanya mampu melompat-lompat kecil. Padahal di alam, sugar glider
dikatakan mampu melompat jauh hingga puluhan meter. Rasanya hancur hati ini
mengingat betapa jahatnya saya, telah mengambil kenikmatan itu dari Kio. Kebebasan
yang seharusnya ia dapatkan di habitat aslinya.
Jadi, apakah tepat jika saya lepasliarkan Kio begitu saja di
alam? Bayangan kio tidak dapat bertahan apalagi bersembunyi dari predator pun
menghantui saya tiada henti. Hingga akhirnya orang terdekat saya memberikan
sebuah masukan.
"Mungkin saat ini yang bisa
dilakukan adalah menjaga Kio hingga batas usianya berakhir."
Nasi memang sudah menjadi bubur. Apa yang sudah saya lakukan tidak dapat diulang.
Nasi memang sudah menjadi bubur. Apa yang sudah saya lakukan tidak dapat diulang.
Keputusan itu pun saya ambil dengan berat hati. Dengan pertimbangan
bahwa melepasliarkan Kio begitu saja tanpa memikirkan bagaimana ia dapat
bertahan di alam bukanlah hal bijak. Pun dengan membiarkan orang lain
mengadopsi Kio. Setidaknya saya telah berikrar untuk tidak lagi menjual
keturunan kio atau pun memposting foto dan video Kio.
Belajarlah dari
Kesalahan Saya
So please, I beg you. Untuk kalian yang berniat untuk
pelihara satwa liar. Think about it over and over. If you’re lonely, get a cat
or a dog, not wildlife. If you want to look cool, do something good instead of
keeping wildlife as a pet. If you love wild exotic animal that much, donate
your money to wildlife rehabilitation centers or reforestation programs.
Pikirkan kesejahteraan hewan-hewan itu. Sejahtera bagi
mereka bukan makan buah-buahan fancy yang kamu beli dari supermarket atau pakai
baju yang kamu beli khusus untuk mereka. They’re wildlife, not your baby. Those
are things human usually do to their babies, right? You want babies, make one! Don’t
take another creature’s baby. Because that’s just plain cruelty.
I made a mistake in the past, and not a single day pass that I
don’t regret it. I wish you can at least learn from it.