"Mamah Ingggaaaa.. Hujaann.. Itu baju si dede kasian nanti basah..", teriak seorang ibu, tetangga yang rumahnya cukup dekat dengan kami di perumahan.
Beberapa hari ini cuaca memang sedang tidak menentu. Kadang cerah di pagi hari tak menjadi jaminan jemuran akan kering di siang hari. Karena selang beberapa jam, langit bisa saja menjadi mendung dan hujan pun turun rintik-rintik. Saya pun bergegas memasukkan jemuran yang kebanyakan memang merupakan baju Ingga, bayi kami yang baru berusia 4 bulan.
Beberapa saat kemudian, saya tertegun. Dulu, orang orang memanggil saya Dian/Nilam. Awal pindah ke perumahan pun saya kerap dipanggil Bu Nilam/Teh Nilam. Hingga suatu hari entah sejak kapan, tetangga mulai memanggil dengan sebutan Bu Agung (nama suami). Kini, nama saya kembali berganti menjadi Mamah Ingga.
Lama saya terdiam. Meresapi apa yang baru saja saya sadari. Panggilan saya telah berganti dua kali, hanya dalam kurun waktu 1 tahun saja. Saya tidak keberatan, hanya sedikit kaget dengan perubahan yang terjadi.
Tidak dapat dipungkiri, masyarakat kita memang mayoritas menganut patriarki. Dimana lelakilah yang dapat meneruskan darah atau nama keluarga. Seorang laki-laki akan meneruskan namanya kepada istri dan anak-anaknya. Sedangkan perempuan, ya seperti saya.
Apakah ini yang dinamakan kehilangan identitas?
Bisa ya, bisa tidak.
Bagi saya, itu hanyalah bagaimana tetangga berusaha mengenali saya dengan mudah. Bisa jadi, beberapa dari mereka malah tidak tahu nama asli saya. Dan itu tidak masalah, karena identitas saya bukan mengenai bagaimana saya dipanggil oleh beberapa orang.
Lingkup kehidupan sosialisasi saya pun tidak hanya berkutat di perumahan kami saja. Ada keluarga, teman sekolah, teman kerja dan sebagainya. Mereka semua tetap memanggil saya Dian/Nilam. Meskipun saya telah menikah, lalu memiliki anak.
Saya masih punya ruang untuk dapat berekspresi dan melakukan aktualisasi diri, salah satunya dengan menulis, membaca buku atau sesederhana melakukan kegiatan yang saya suka. Berenang, contohnya. Sehingga Dian Nilam tidak pernah hilang. Ia ada dan tetap memiliki kuasa atas dirinya.
Justru ketakutan terbesar saya, adalah jika saya tidak mampu melakukan aktualisasi diri dengan adanya kesibukan baru setelah menjadi seorang ibu. Ketika saya tidak dapat bebas berekspresi, beropini atau bahkan tidak dapat melakukan hal yang saya sukai. Saat itulah identitas saya akan terasa hilang. Dimana hidup akan terasa kosong dan tak bermakna.
Beruntung, saya diberi suami yang pengertian dan memiliki pola pikir yang terbuka. Suami yang mau diajak berdiskusi tentang dunia agar istrinya tidak merasa tertinggal. Suami yang mendukung penuh upaya istrinya untuk tetap berkarya.
Lain halnya, jika perempuan mendapati pasangan hidup yang merasa harus memiliki dominansi mutlak dalam rumah tangga. Saat perempuan bahkan takut untuk mengemukakan pendapatnya. Saat itulah perempuan rawan kehilangan identitas atau jati dirinya.
Tapi, itu hanyalah pendapat saya semata. Layaknya lelaki dan perempuan yang berbeda, tiap individu perempuan satu dan lainnya juga tentu tidak akan sama. Mungkin ada yang setuju ada yang tidak. Doa saya agar setiap perempuan dapat hidup dengan aman, nyaman dan bahagia. Agar dapat menghasilkan generasi penerus yang cerdas dan berkualitas.
Semangat ya.. Kita saling menguatkan.. I love you, women..
No comments:
Post a Comment